Tuesday, April 23, 2019

Budak Cinta

Micin kau jadikan tameng atas kebodohanmu?
Berkaca, hai anak Adam!
Micin tidak semata-mata menjadikanmu bodoh, cinta jawabannya.
Tidak percaya? Lihat saja apa yang terjadi pada dirimu saat ini? Apakah karena konsumsimu berlebihan pada micin? Tidak, sayang. Itu karena cinta yang kamu punya pada dirinya tidak sebanding dengan apa yang dia punya untuk dirimu. Kamu menyakiti dirimu sehingga lupa caranya mencintai diri sendiri.

Apakah salah?
Salahkah jika dirimu menjadi budak cinta? Jangan tanya sama saya, saya juga tidak tahu jawabannya karena saya juga ada di posisi yang sama. Ya, saya juga seorang budak cinta.

Budak cinta terdengar bodoh bagi mereka yang tidak merasakannya. Terlihat tidak masuk akal bagi mereka yang tidak menjalakannya. Namun, tidak akan terasa bagi siapa saja yang berada di dalamnya.

Kami sadar menjadi budak. Kami paham ada kebodohan. Kami mengerti itu berlebihan. Namun, terkadang, kami menikmatinya.

Bukan, bukan tentang kepatuhan sebagai budak. Bukan pula tentang mewahnya cinta tapi tentang sakitnya.

Hal yang terjadi pada manusia adalah menyukai kesakitan. Menikmati harumnya pesakitan layaknya sisi lain kebahagiaan.

Sebagai contoh, seringkali ketika kita terjatuh dan menyebabkan luka, tangan kita akan senantiasa tidak betah ingin mengelupasnya. Kita tahu itu sakit tapi kita tetap melakukannya. Manusia memang begitu, senang berendam dalam kesakitan, terkadang.

Begitu pula penjabaran tentang budak cinta. Menjadi budak memang sakit. Tidak seharusnya dalam sebuah hubungan ada yang memiliki posisi yang lebih tinggi. Tidak sepantasnya pasangan bersikap superior dibanding yang lainnya. Tidak begitu cara kerjanya, seharusnya.

Namun, dalam hal perbucinan, hal itulah yang terjadi. Berasaskan cinta, rela melakukan apapun demi pasangannya bahagia. Tidak salah, asal mencintai diri sendiri yang utama. Kenyataannya, para bucin rela menggadai kebahagiaannya demi dia yang dicinta. Meski faktanya, hanya sakit hati yang dirasa.

Mengapa sakit hati jika engkau dengan tulus mencintai?
Mungkin benar rasa itu tulus, cinta itu penuh tetapi tidak dengan ekspektasi. Kenyataan menampar ekspektasi, hasilnya hanya akan berupa sakit hati.

Para budak cinta akan melakukan apa yang diinginkan oleh pasangannya. Bahkan terkadang mereka bisa saja melakukan meski tanpa diminta. Sebudak itu? Iya, sebodoh itu.

Jangan tersinggung, sobat. Itulah kita. Rela melakukan apapun demi bahagianya, meski terkadang hanya sakit yang dapat dirasa.

Namanya resiko, para budak cinta. Ini pilihan kita. Kita yang memilih bertahan. Kita yang masih berharap kebaikan. Kita yang menginginkan ekspektasi menjadi kenyataan. Terima resikonya mencintai seseorang yang tidak membalas cinta kita sepenuh cinta yang telah kita berikan. Terima resikonya ketika kamu telah memberi segalanya tetapi belum juga membuatnya bahagia. Terima resikonya saat tangis jadi wujud berontaknya rasa kala mulut tak mampu bersuara. Terima resikonya membenci tetapi mencinta. Terima resikonya terluka tetapi tidak berdaya. Terima resikonya ketika kamu mengeluh dengan teman, diberikan saran tetapi tidak bisa melaksanakan. Terima resikonya, teman seperjuangan.

Salah satu saran yang sering terdengar adalah melepaskan, merelakan, mengikhlaskan. Aku tahu, teman, hal tersebut sangat tidak mudah dilakukan. Terlebih lagi untuk diri yang tidak tahu alasan mencintai. Tepatnya yang selalu mempunyai jawaban untuk mengelak dari saran dan tetap memilih bertahan dengan segala pengharapan.

Terlepas dari merelakan atau bertahan, percayalah dirimu lebih kuat dari yang kamu tahu. Tarik napas dan hembuskan perlahan. Istirahatlah.. Diri dan hatimu butuh itu. Tersenyumlah, dunia membutuhkan itu darimu!

Smile.. you deserve to be happy :)


No comments: