Heteroseksual.
Lesbian.
Gay.
Biseksual.
Transgender.
Lesbian.
Gay.
Biseksual.
Transgender.
Orientasi seksual.
Apa yang terbesit dibenak kalian jika mendengar kata-kata di atas?
Biasa aja?
Bingung?
Jijik?
Tidak peduli?
Bagi sebagian orang awam, LGBT adalah sebuah penyakit yang harus dimusnahkan. Benarkah seperti itu?
Mengapa disebut penyakit?
Bukankah penyakit itu seperti flu, demam, meriang, demam berdarah, tipes, migrain, vertigo, diare, tumor, kanker, diabetes, kolesterol bahkan penyakit jantung?
Selain penyakit, LGBT
dianggap sebagai penyimpangan, dosa, haram, terlaknat. Agama menjadi
landasan dasar atas terciptanya kontra akan hal tersebut. Namun, apakah
agama yang memang dasarnya memuliakan manusia kini berubah menjadi
landasan untuk menghakimi dan mendosakan sesama?
Lalu dimanakah mereka yang menggemborkan tentang Hak Asasi Manusia?
Apakah mereka berada di lini depan para manusia pro ataukah mereka berbalik arah mengikuti para manusia kontra?
Berbicara tentang LGBT, tidak lepas dari hakikatnya perasaan. Bukankah apa yang mereka rasa juga tetap disebut cinta?
Cinta adalah anugerah dari Yang Mahakuasa. Itu mutlak.
Namun, yang selalu menjadi topik utama dalam permasalahan ini adalah perasaan.
Tidak ada yang salah
dengan Sang Pemberi cinta ataupun cintanya, yang salah adalah kepada
siapa kamu menaruh rasa cintamu, komentar dari para mayoritas.
Cinta adalah anugerah,
pemberian Sang Mahakuasa. Setiap yang bernyawapun berhak merasakan
cinta, sekalipun sesamanya, komentar dari para minoritas.
Lantas, siapa yang benar diantara mereka?
Berdasarkan agama, sudah
jelas itu salah. Hal yang sepatutnya dihindari. Jika mempunyai rasa
itu, hendaknya dimusnahkan dengan berbagai cara. Karena pada dasarnya,
kodrat manusia adalah berpasangan..
.. Wanita dengan pria.
Saat dihadapi pada
kehidupan bermasyarakat, sudah jelas kaum minoritas akan mendapat
gunjingan. Hal yang lebih parah, mereka akan mendapat siksaan. Seperti
yang terjadi di beberapa negara yang menetapkan hukum tegas bagi para
LGBT.
Di lingkungan bermasyarakat, para minoritas hanya bisa bersembunyi. Mereka akan sangat takut oleh bully-an para manusia sekitar.
Karena sesungguhnya,
penghakiman sesama manusia sangatlah kejam. Mereka sangat tahu benar
bagaimana membuat seseorang merasa tidak berguna, tidak pantas berada di
sekitar mereka.
Penghakiman yang
dilakukan juga tidak tanggung-tanggung. Bukan hanya kepada sang korban,
keluarga mereka juga terkena dampaknya, bahkan mendapat gunjingan yang
lebih menyakitkan.
Belum lagi jika mereka
sudah menghakimi hingga ke dasar silsilah keluarga, mengungkit apa saja
hal buruk yang telah dilakukan korban beserta keluarga dan saudaranya,
pendidikan korban, lingkungan teman-teman korban bahkan membawa
bagaimana keagamaan keluarga korban.
Sekali saja mereka tau
tentang hal tersebut, hilang sudah kebaikan yang pernah dilakukan korban
dan keluarganya. Lupa sudah mereka akan apa saja yang pernah mereka
bagi bersama. Mereka hanya melihat hal tersebut adalah suatu
penyimpangan, dosa, hal menjijikkan yang seharusnya tidak berada dalam
ruang lingkup mereka.
Ya, manusia ternyata sekejam itu.
Apakah mereka sudah sesuci itu hingga dengan mudahnya menghakimi moral dan dosa seseorang?
Jawabannya tentu saja tidak. Manusia adalah tempatnya dosa. Hanya saja Tuhan Yang Mahabaik menutupi segala aibnya.
Lalu mengapa mereka
merasa seperti wakil Tuhan yang dengan mudahnya menghakimi sesamanya?
Entahlah.. Memang lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada
melihat kesalahan diri sendiri.
Bukankah seharusnya kita hidup berkemanusiaan?
Lalu dimana kemanusiaan saat manusia menghakimi aib manusia lainnya?
Dengan landasan agama?
Bukankah agama juga jelas menjunjung tinggi tentang kemanusiaan?
Saat kita berbuat baik, mereka akan memulai bertanya "siapa namamu?" Bukan bertanya "apa agamamu?"
Lalu apa yang salah?
Bahkan ada cerita agama,
dimana seorang muslim yang melihat seorang Yahudi wafat dan berucap
kepada sang Baginda Rasulullah "ya Rasulullah, sesungguhnya dia adalah
seorang Yahudi"
Dan tahukah kalian apa jawaban dari sang Baginda Yangagung?
"Bukankah dia seorang manusia?"
"Bukankah dia seorang manusia?"
Bisa kita lihat, seorang
Rasul saja tidak memandang siapa fulan bin fulan. Baginya, ia adalah
seorang manusia. Lalu mengapa kita yang manusia biasa bersikap seolah
sang wakil Tuhan?
Berbicara soal
kemanusiaan, seharusnya kita tidak peduli agamanya, rasnya, warna
kulitnya, tinggi badannya, berat badannya, sukunya, status sosialnya
bahkan pilihan hidupnya. Jika kita bisa berbuat baik, lakukan.
Sesederhana itu.
Namun, hal yang terjadi adalah penghakiman. Ya, lagi-lagi penghakiman merajalela.
Kalian tahu apa penyebabnya?
Pemikiran liberal.
Segitu pesimisnya para sang penikmat hidup ini. Hingga kita yang enggan berdrama dengan membawa agama dianggap liberal.
Kalau berdasarkan agama, semua juga setuju, apa yang dilarang Tuhan, seharusnya tidak dilakukan. Itu mutlak.
Lalu apa yang seharusnya kita lakukan kala mengetahui tentang hal tabu tersebut?
Seharusnya, kita
mengingatkan, mengajaknya kembali, membantu sesuai kemampuan. Kalaupun
memang tidak mampu ya mungkin memberi bantuan lain seperti tetap ada
untuk mereka dan juga berdoa.
Bukankah hal itu lebih manusiawi daripada menghakimi tanpa memberi solusi?
Mereka berkoar itu hal
salah, solusinya ya kembali ke yang benar. Namun, mereka lupa hakikatnya
kalau korban perlu dirangkul, bukan dipojokkan.
Mereka hanya bersuara namun enggan untuk bertindak membantu secara nyata. Apakah itu yang disebut kemanusiaan?
Berbicara soal
kemanusiaan, para manusia terkadang ingin disebut manusia namun dirinya
mencerminkan bukan manusia. Itu kenyataannya.
Kenyataan lainnya, para kaum minoritas itu tidak sedikit yang sudah melakukan berbagai cara untuk kembali.
Kembali pada kodratnya,
kembali bisa diterima oleh lingkungannya. Sadarkah para mayoritas dengan
penghakiman mereka yang berujung kesengsaraan bagi para korban?
Dengan penghakiman
tersebut, tidak sedikit dari kaum minoritas yang diusir dari rumah,
dipecat dari kerjaan, pindah provinsi bahkan melakukan kriminal.
Mengapa?
Penghakiman.
Mereka terkucilkan.
Mereka dibuang.
Hingga akhirnya mereka semakin menjadi melakukan hal yang tidak seharusnya hanya demi menyambung hidup.
Sadarkah para mayoritas akan dampak penghakiman mereka?
Hal yang terpikirkan
oleh kaum minoritas adalah bagaimana mereka hidup hari ini untuk
menyambung nyawa, yang mereka tahu Tuhan menyayangi umatnya. Mereka
hanya ingin hidup sewajarnya manusia lainnya.
Para minoritas harus
ekstra sembunyi untuk bertahan hidup. Mereka hanya akan secara
terang-terangan kepada sesamanya atau orang yang mereka percaya.
Mereka menjalani hidup sesuai pilihan hati. Biarlah orang bagaimana menghakimi, yang mereka tahu bagaimana menikmati hari ini.
Mereka tetap hidup
bermanusiawi. Hanya pilihan hidupnya saja yang berbeda. Tidak ada yang
terlalu salah akan kemanusiaan, ya kecuali mengurangi stok pasangan para
hetero.
Hei..
Bukankah tadi kita membahas agama?
Mengurangi stok?
Takut kehabisan stok?
Dimana imanmu akan takdir, qadha dan qadar?
Bukankah segalanya telah dituliskan kehidupannya jauh sebelum kita diciptakan?
Lalu apa yang membuatmu takut?
Kemungkinan tentang jodoh hanya ada dua, lebih dulu menikah atau lebih dulu meninggal.
Mengapa takut, sedangkan semuanya sudah tersusun rapih dalam rencana Tuhan?
Kalaupun ada masalah
dengan penyimpangan, bukan masalah stok yang kita permasalahkan. Bukan
juga tentang orang-orangnya. Tapi penyimpangannya.
Agama juga tidak memperbolehkan kita untuk memutuskan hubungan, bukan?
Jadi jangan pernah jauhi orangnya!
Mengapa saat ini kita banyak melihat para minoritas mulai berani menunjukkan identitas mereka?
Karena mereka lelah..
.. Lelah akan cibiran..
.. Lelah akan penghakiman..
.. Lelah dibuang..
.. Lelah menjadi jahat.
Ya, mereka lelah menjadi
jahat. Demi dapat makan, mereka mencuri, menjual barang haram bahkan
menjual diri. Mengapa? Karena penghakiman.
Mereka lelah akan diskriminasi.
Mereka ingin diterima sebagai mana manusia pada umumnya. Mereka hanya ingin tetap dianggap ada.
Tentang legal maupun
ilegal, biarlah menjadi urusan pemerintah. Kita, sebagai masyarakat,
hanya perlu bermasyarakat, bermanusiawi.
Jika ada yang salah,
kita wajib mengingatkan. Itu sesuai agama. Tapi target kita hanya
sebatas penyampaian saja. Karena sudah jelas, penerimaan itu ada di
tangan Tuhan.
Jika mampu membantu, lakukan. Jika tidak, jangan menghakimi. Sudah, itu saja.
Lalu salahkah jika mereka berbeda?
Mari tanyakan pada diri
kita masing-masing, yang sudah jelas adalah baik-jahatnya,
benar-salahnya seseorang menjadi urusannya dengan Tuhan.
Salam hidup damai.
No comments:
Post a Comment