Saturday, March 23, 2019

Penuh Luka

Selamat siang, teruntukmu yang sedang berjuang sendirian.

Aku tahu betapa penuhnya luka dalam dirimu. Menggerogoti pikiran diawal, menumpangkan beban di badan.

Aku sudah memberitahumu, tenangkan pikiran. Buang segala perspektif negatif, itu hanya akan menyakiti.

Aku tahu siang ini dirimu sedang sibuk di dapur. Memoles makanan untuk dihidangkan pada pembeli. Setelah sebelumnya berjibaku membeli segalanya sendiri.

Aku tahu betapa banyak beban yang kamu simpan dalam lubuk hati. Betapa sulit mengungkapkannya pada yang tidak mengerti. Betapa sungguh ingin dirimu memaki, menjerit, menangisi yang telah terjadi.

Aku tahu bagaimana kamu menyempatkan diri mengambil rehat. Di saat beban meronta meminta dilihat, kamu memaksakan diri seakan kamu masih kuat.

Kamu urungkan rehat demi rengekan para pembeli yang lapar, "rejeki", ucapmu tanpa peduli perutmu yang belum terisi.

Posisi koki kembali kamu ambil alih. Berbekal air mineral kamu merasa lelahmu telah pulih. Kenyataannya, belum ada orang yang bisa kamu percayai lagi.

Perlahan, jam sibukmu mulai surut. Remuknya badan pertanda buruk. "Mungkin aku butuh urut", hela napasmu menatap sekitarmu dalam kondisi carut-marut.

Kamu tinggalkan peluh di bawah. Berharap melihat sang buah hati berbuah tawa. Meski ada luka yang menganga kala mengingat betapa ego masih saja menjadi raja.

Kamu cek handphone pelepas gundah. Menyelami apa saja yang bisa menguapkan lelah. Sungguh kamu ingin ada kasih disana. Bisa saja sebagai pelipur lara atau sekadar berbagi cerita.

Namun, harapan ditampar kenyataan. Keegoisan masih saja memonopoli perasaan. Pengertian hanyalah sebuah teori. Kala komunikasi bukan lagi untuk memahami.

Pikirmu sudah tidak mampu lagi menampung rungsingmu. Jiwamu butuh ruang penyimpanan lebih dari itu. Beban itu mencari sasaran empuk, ruang kosong ada dibadanmu.

Tanpa kamu sadari, lukamu terlalu manja dalam diri. Ia meminta perhatian lebih. Itulah mengapa engkau jatuh sakit, wahai seorang pekerja keras tak kenal henti.

Belum lepas segala keluh, panggilan dari bawah kembali menyerukan namamu. "Apa-apa harus aku. Tolonglah, aku butuh istirahat sejenak. Capek sangat", pintamu terdengar malas.

Kamu paksakan mata untuk menutup sekejap. Melepaskan keluh, peluh, juga pedih, sedih.
Tidak pernah lama. Alam bawah sadarmu mempunyai alarm terbiasa bangun tanpa kamu minta. Diiringi gerutuan tidak rela saat mimpimu belum puas menggerus lara.

Lagi, kamu mengalir dalam waktu. Menggerus peluh pantang ragu. Mengangankan buih bahagia dalam samudera keluh.

Seringkali kamu lupa lambungmu butuh asupan. Basah pakaian sudah tidak kamu hiraukan. Memilah-milih hasil menata masa depan.

Buah hatimu boleh saja terpejam disampingmu. Namun, larut malam belum juga mampu menumbangkanmu. Menyusuri dunia maya rutinitas pengantar tidurmu.

Menjelang subuh matamu terasa berat. "Sudah waktunya istirahat", gumammu terbuai jaringan yang cepat. Sedikit mengingat, berandai berat bebanmu dapat terangkat.

Polanya akan terus sama. Waktu menggerus dirimu. Tekanan mengendalikan emosimu. Beban menggerogoti sehatmu.

Istirahatlah sejenak.
Hati dan pikiranmu butuh itu.
Lepaskan sakit hati.
Berdamailah dengan waktu.
Buang aliran negatif.
Semoga bahagia selalu bersamamu.

Maafkan yang menyakiti karena tidak ada yang lebih dekat selain mati. Sisi hitam mungkin lebih teringat tajam. Namun, ingatlah, selalu ada sisi putih yang terkadang luput dari perhatian.

Tersenyumlah, dunia membutuhkan itu darimu. Tertawalah, itu menular bagi yang melihatnya. Berbahagialah karena hidupmu sungguh berharga.

No comments: