Selamat siang, teruntukmu yang sedang berjuang sendirian.
Aku tahu betapa penuhnya luka dalam dirimu. Menggerogoti pikiran diawal, menumpangkan beban di badan.
Aku sudah memberitahumu, tenangkan pikiran. Buang segala perspektif negatif, itu hanya akan menyakiti.
Aku tahu siang ini
dirimu sedang sibuk di dapur. Memoles makanan untuk dihidangkan pada
pembeli. Setelah sebelumnya berjibaku membeli segalanya sendiri.
Aku tahu betapa banyak
beban yang kamu simpan dalam lubuk hati. Betapa sulit mengungkapkannya
pada yang tidak mengerti. Betapa sungguh ingin dirimu memaki, menjerit,
menangisi yang telah terjadi.
Aku tahu bagaimana kamu
menyempatkan diri mengambil rehat. Di saat beban meronta meminta
dilihat, kamu memaksakan diri seakan kamu masih kuat.
Kamu urungkan rehat demi rengekan para pembeli yang lapar, "rejeki", ucapmu tanpa peduli perutmu yang belum terisi.
Posisi koki kembali kamu
ambil alih. Berbekal air mineral kamu merasa lelahmu telah pulih.
Kenyataannya, belum ada orang yang bisa kamu percayai lagi.
Perlahan, jam sibukmu
mulai surut. Remuknya badan pertanda buruk. "Mungkin aku butuh urut",
hela napasmu menatap sekitarmu dalam kondisi carut-marut.
Kamu tinggalkan peluh di
bawah. Berharap melihat sang buah hati berbuah tawa. Meski ada luka
yang menganga kala mengingat betapa ego masih saja menjadi raja.
Kamu cek handphone
pelepas gundah. Menyelami apa saja yang bisa menguapkan lelah. Sungguh
kamu ingin ada kasih disana. Bisa saja sebagai pelipur lara atau sekadar
berbagi cerita.
Namun, harapan ditampar
kenyataan. Keegoisan masih saja memonopoli perasaan. Pengertian hanyalah
sebuah teori. Kala komunikasi bukan lagi untuk memahami.
Pikirmu sudah tidak
mampu lagi menampung rungsingmu. Jiwamu butuh ruang penyimpanan lebih
dari itu. Beban itu mencari sasaran empuk, ruang kosong ada dibadanmu.
Tanpa kamu sadari,
lukamu terlalu manja dalam diri. Ia meminta perhatian lebih. Itulah
mengapa engkau jatuh sakit, wahai seorang pekerja keras tak kenal henti.
Belum lepas segala
keluh, panggilan dari bawah kembali menyerukan namamu. "Apa-apa harus
aku. Tolonglah, aku butuh istirahat sejenak. Capek sangat", pintamu
terdengar malas.
Kamu paksakan mata untuk menutup sekejap. Melepaskan keluh, peluh, juga pedih, sedih.
Tidak pernah lama. Alam
bawah sadarmu mempunyai alarm terbiasa bangun tanpa kamu minta. Diiringi
gerutuan tidak rela saat mimpimu belum puas menggerus lara.
Lagi, kamu mengalir dalam waktu. Menggerus peluh pantang ragu. Mengangankan buih bahagia dalam samudera keluh.
Seringkali kamu lupa lambungmu butuh asupan. Basah pakaian sudah tidak kamu hiraukan. Memilah-milih hasil menata masa depan.
Buah hatimu boleh saja
terpejam disampingmu. Namun, larut malam belum juga mampu
menumbangkanmu. Menyusuri dunia maya rutinitas pengantar tidurmu.
Menjelang subuh matamu
terasa berat. "Sudah waktunya istirahat", gumammu terbuai jaringan yang
cepat. Sedikit mengingat, berandai berat bebanmu dapat terangkat.
Polanya akan terus sama. Waktu menggerus dirimu. Tekanan mengendalikan emosimu. Beban menggerogoti sehatmu.
Istirahatlah sejenak.
Hati dan pikiranmu butuh itu.
Lepaskan sakit hati.
Berdamailah dengan waktu.
Buang aliran negatif.
Semoga bahagia selalu bersamamu.
Hati dan pikiranmu butuh itu.
Lepaskan sakit hati.
Berdamailah dengan waktu.
Buang aliran negatif.
Semoga bahagia selalu bersamamu.
Maafkan yang menyakiti
karena tidak ada yang lebih dekat selain mati. Sisi hitam mungkin lebih
teringat tajam. Namun, ingatlah, selalu ada sisi putih yang terkadang
luput dari perhatian.
Tersenyumlah, dunia
membutuhkan itu darimu. Tertawalah, itu menular bagi yang melihatnya.
Berbahagialah karena hidupmu sungguh berharga.
No comments:
Post a Comment