Malam ini buah dari sore tadi. Aku yang tidak tahu mengapa emosi kian menjadi. Mungkin sakit, kecewa atau terlalu sedih. Seperti yang diucap para psikolog, "ketika seseorang dapat marah dan menangis karena hal sepele, sesungguhnya terdapat luka di lubuk dalam hatinya, ia sedih, sakit, kecewa".
Hah.. Aku benci kala orang-orang
mulai memahami pelajaran psikologi. Semuanya terlihat transparan tanpa tepi.
Susah menutupi apa yang sedang dialami. Bukan secara nyata tapi topeng seakan
dikuliti.
Orang bilang, "kedewasaan
diukur dari seberapa pandai mereka menggunakan topeng". Itu dulu, kawan.
Zaman berubah, teknologi berkembang tapi kamu tetap disana, sulit kugapai.
Halah...
Semuanya tidak lagi sama. Teori
yang lalu hanya berlaku di masa itu. Kini semua bertopeng. Bahkan para setanpun
kehilangan pekerjaan karena manusia telah pandai menggunakan topeng mereka.
Terlalu banyak berita tentang
betapa setan tinggal ongkang-ongkang kaki tersenyum melihat kelakuan manusia.
Manusia tidak perlu lagi dihasut berdosa, manusia sudah mandiri, tahu cara
kerja setan tanpa perlu tutorial.
Ayah bunuh anak karena himpitan
ekonomi.
Anak bunuh ibu karena kesal dinasehati.
Suami bunuh istri karena menolak berhubungan intim.
Teman bunuh teman karena tidak terima di bully.
Anak SD diperkosa dan wajahnya dikuliti.
Miris.
Anak bunuh ibu karena kesal dinasehati.
Suami bunuh istri karena menolak berhubungan intim.
Teman bunuh teman karena tidak terima di bully.
Anak SD diperkosa dan wajahnya dikuliti.
Miris.
We can see human but not humanity.
Pernah dengar berita seorang
lelaki di Lampung bunuh diri karena depresi masalah asmara dengan kekasih?
Itu miris. Bukan. Bukan tentang caranya mengakhiri hidup tapi tentang bagaimana dengan mudahnya netizen mencaci, menghakimi bahkan menjadikan konten hahahihi.
Sudah begitu hilangkah rasa
empati? Bukankah mendoakan lebih menenangkan daripada menghakimi dan menjadi
bahan ghibahan?
Jangan pernah meremehkan orang
yang terlihat frustasi, depresi. Gak mudah menjadi mental illness survivor.
Serius! Ini perihal serius.
Orang dengan mental illness
atau penyakit mental biasanya disertai gejala depresi. Sungguh tidak mudah
keluar dari lingkaran itu. Sekalipun keluar, itu gak menjamin sembuh total
karena biasanya hal tersebut bisa terjadi lagi.
Tiap orang punya kuatnya
masing-masing. Mudah bagimu, belum tentu berlaku mudah buat orang lain. Perihal
sepele saja, kamu tahan dingin dan kuat dalam ruangan ber-AC tentu tidak bisa
kamu bandingkan dengan seseorang yang bahkan dengan kipas angin volume kecil
saja sudah kedinginan bukan main. Itu batas mampunya, itu kuatnya dan sudah
pasti ada sesuatu hal dalam dirinya yang tidak bisa kamu bandingkan dengan
dirimu.
Lalu apa yang akan kamu lakukan?
Mengejeknya dengan ucapan, "halah.. Cuma 20 kok ini, ga dingin, jangan
lemah deh, yang laen juga biasa aja". Kamu membunuhnya, kawan.
Rangkul dia, ucapkan "ga kuat dingin ya? Mau gimana? Kalo dimatiin ga mungkin soalnya yang laen juga butuh AC. Kamu pake jaket aja ya, duduknya yang ga kena AC jadi ga terlalu kerasa dinginnya, gimana?".
Rangkul dia, ucapkan "ga kuat dingin ya? Mau gimana? Kalo dimatiin ga mungkin soalnya yang laen juga butuh AC. Kamu pake jaket aja ya, duduknya yang ga kena AC jadi ga terlalu kerasa dinginnya, gimana?".
Ga susah kok jadi baek itu. Cukup sedikit buka mata, telinga, pikiran, hati, rangkul.
Begitu juga perihal depresi.
Sejujurnya, mereka butuh solusi tapi hal yang paling penting adalah mereka ingin
didengar.
Terjadi lagi, seorang pemuda
loncat dari lantai 3 mall di Jakarta. Semakin maju teknologi, semakin rentan
tingkat depresi.
Ketika seseorang bercerita,
mengeluhkan keadaannya kepadamu artinya ia percaya pada dirimu. Dia tidak
berharap solusi. Ia hanya ingin didengar dan tidak ditinggal dibiarkan sendiri.
Banyak terjadi, orang yang telah
dipercaya merasa malas, merasa bosan selalu mendengar keluhan dan berpikir
meninggalkan. Sungguh kamu membuka lubang yang besar bagi depresinya, sobat.
Orang yang depresi sudah dipenuhi
perkara negatif dalam hati dan diri. Jika ia ditinggali, sungguh ia merasa
semakin terasingi, tidak ada yang peduli, merasa tidak berguna, hanya bisa
menyusahkan, bahkan cenderung ingin mengakhiri.
Jangan pula berbicara agama pada
orang depresi, mereka sudah paham tentang itu. Baginya, urusan mati perkara
dirinya dengan Tuhan yang penting lelahnya hati, hancurnya diri sudah tidak
terasa lagi.
Hingga akhirnya pilihan di depan
mata. Mengakhiri atau kembali melangkah lagi.
Namun, semua kembali pada
kuasaNya. Jika Tuhan berkata belum waktunya, manusia hanya bisa berencana.
Malam ini, aku kembali.
Persimpangan itu masih abu tapi kulihat dirimu disana dengan semua rencanamu.
Mungkin terdengar manis kala kamu
memasukkanku dalam rencanamu. Namun, aku takut. Takut akan kemampuanku yang
jauh di bawah ekspektasimu.
Ku duduk sebelum pertigaan, ku
pesan makanan dan ku bertanya pada malam, "apa yang harus
kulakukan?".
Tidak ada jawaban.
Hingga suara pemadam kebakaran
menarik perhatian. Aku masih beruntung dapat menikmati angin malam beserta
makanan sementara disana ada yang sedang bertahan melawan kobaran.
Sungguh aku lelah. Mungkin obat
pereda sakit kepala berwarna merah dapat membantuku. Setitik jawaban dari ku
butuh tidur malam ini.
Selamat malam para budak kemajuan
zaman. Semoga tidur nyenyak dalam jiwa yang damai. Selalu sehat ketika pagi
menjelang. Bersemangat mencapai cita, cinta, dan mengukir cerita.
No comments:
Post a Comment