Selamat pagi, sayang.
Sayang? Iya, itu panggilanku untukmu. Namun, tenang saja. Itu hanya akan kuucapkan di dalam hati maupun ketika sendiri. Tidak akan sanggup ku ucap kata itu di depanmu. Terlalu berlebihan kedengarannya, bukan? Bagimu, bagiku itu adalah kata yang manis. Semanis ketika chatku mendapat balasan darimu.
Lagi-lagi, apa yang menurutku
manis mungkin berlebihan menurutmu. Namun, ketahuilah, sayang, apa yang
menurutku berlebihan, terkadang biasa saja menurutmu.
Ingatkah dirimu apa yang terjadi
semalam? Kamu menyakiti hatiku, lagi dan kamu tidak menyadari.
Bukan, itu bukan salahmu. Aku
saja yang terlalu percaya diri dengan berpikir bahwa kamu tidak akan mungkin
melakukannya padaku.
Aku yang mengganggu waktu senggangmu
tapi dengan egonya, aku mengharapkan respon panjangmu.
Kamu sudah baik dengan meresponku
tapi egoku selalu meminta lebih. Wajar kamu emosi padaku.
Aku marah ketika kamu mematikan handphonemu.
Bahkan aku juga marah ketika kamu tidak mengangkat panggilan teleponku. Tanpa
aku sadari, kamu memang sedang tidak ingin diganggu. Bagiku saat itu kamu
berlebihan, nyatanya tidak. Aku yang terlalu percaya diri.
Lalu aku tersadar, seharusnya aku
lebih mengerti dirimu. Lebih paham waktumu tapi nyatanya, egoku tidak bekerja
dengan baik saat itu.
Tidak apa, sayang. Bukan kamu
yang salah. Aku yang tidak mengerti kamu, tidak paham pusingmu bahkan tidak
membantu meringankan tekananmu.
Pagi ini aku belum bisa menghubungimu.
Aku tahu kamu sedang sibuk dengan urusanmu, begitu pula denganku.
Aku ingat bagaimana kamu
mengawali pagimu. Tentu dengan pusingmu, belum lagi rengekan sekitarmu.
Rutinitasmu kuhapal, sayang. Kamu
membuka mata, melihat handphone barang sebentar tanpa berniat larut
lebih lama. Lalu kamu beranjak ke kamar mandi dan kembali dengan wajah yang
lebih segar. Tidak lupa juga kamu berjalan ke pasar guna membeli makan.
Kamu mungkin ahli dalam hal
masakan dan makanan. Namun, waktu menuntutmu dan tentu saja uang.
Jika tersedia, kamu mungkin akan
sibuk berkutat di dapur tetapi jika tidak, kamu akan beradu sinar matahari demi
membeli nasi.
Lalu kamu lihat dipojokan pintu,
terdapat banyak pakaian kotormu menumpuk. Hela napasmu pertanda lelahmu. Namun,
apadaya, kamu harus tetap menghabiskannya.
Waktu bergulir, tak terasa
matahari kian memancarkan panasnya. Beruntung bagi pakaianmu tapi tidak bagi
tubuhmu.
Udara dari kipas rasanya tidak
cukup membersihkan peluh di dahimu. Air di botol terasa kurang bagi
kerongkonganmu.
Es dalam genggaman cukup mereda
penat barang sekejap. Begitu pula beberapa camilan yang membantu mengisi
lambung sebelum nasi kau suap.
Degup jantungmu masih membara
kala terlihat beberapa panggilan tak terjawab dariku. Iya, aku tahu. Degup itu
bukan karenaku tapi karena lelahmu.
Kamu ambil handphonemu, kamu buka
aplikasi permainan. Disanalah terdapat kesenangan, ucapmu. Lalu kamu larut di
dalamnya, cukup lama.
Cukup lama bagiku yang menunggu
kabarmu. Terlalu lama bagiku yang tidak mendapat responmu. Tanpa aku sadari,
egoku kembali minta dipenuhi.
Aku yang salah. Tahu akan
kondisimu tapi tetap memaksa dimengerti.
Aku yang salah. Paham akan
tekananmu tapi tetap meminta untuk disayangi.
Aku yang salah. Mengerti akan
stresmu tapi tetap menuntut keinginanku.
Maafkan aku, sayang. Seharusnya
aku disana. Membantu meringankan pekerjaanmu bahkan siap sedia membasuh peluh
serta dahagamu. Bukan dengan memaksamu memenuhi egoku.
Tersenyumlah, sayang, dunia
membutuhkan itu darimu, apalagi aku :)
No comments:
Post a Comment