Saturday, March 23, 2019

Selamat Pagi, Sayang.

Selamat pagi, sayang.

Sayang? Iya, itu panggilanku untukmu. Namun, tenang saja. Itu hanya akan kuucapkan di dalam hati maupun ketika sendiri. Tidak akan sanggup ku ucap kata itu di depanmu. Terlalu berlebihan kedengarannya, bukan? Bagimu, bagiku itu adalah kata yang manis. Semanis ketika chatku mendapat balasan darimu.

Lagi-lagi, apa yang menurutku manis mungkin berlebihan menurutmu. Namun, ketahuilah, sayang, apa yang menurutku berlebihan, terkadang biasa saja menurutmu.
Ingatkah dirimu apa yang terjadi semalam? Kamu menyakiti hatiku, lagi dan kamu tidak menyadari.

Bukan, itu bukan salahmu. Aku saja yang terlalu percaya diri dengan berpikir bahwa kamu tidak akan mungkin melakukannya padaku.

Aku yang mengganggu waktu senggangmu tapi dengan egonya, aku mengharapkan respon panjangmu.
Kamu sudah baik dengan meresponku tapi egoku selalu meminta lebih. Wajar kamu emosi padaku.

Aku marah ketika kamu mematikan handphonemu. Bahkan aku juga marah ketika kamu tidak mengangkat panggilan teleponku. Tanpa aku sadari, kamu memang sedang tidak ingin diganggu. Bagiku saat itu kamu berlebihan, nyatanya tidak. Aku yang terlalu percaya diri.
Lalu aku tersadar, seharusnya aku lebih mengerti dirimu. Lebih paham waktumu tapi nyatanya, egoku tidak bekerja dengan baik saat itu.
Tidak apa, sayang. Bukan kamu yang salah. Aku yang tidak mengerti kamu, tidak paham pusingmu bahkan tidak membantu meringankan tekananmu.

Pagi ini aku belum bisa menghubungimu. Aku tahu kamu sedang sibuk dengan urusanmu, begitu pula denganku.
Aku ingat bagaimana kamu mengawali pagimu. Tentu dengan pusingmu, belum lagi rengekan sekitarmu.

Rutinitasmu kuhapal, sayang. Kamu membuka mata, melihat handphone barang sebentar tanpa berniat larut lebih lama. Lalu kamu beranjak ke kamar mandi dan kembali dengan wajah yang lebih segar. Tidak lupa juga kamu berjalan ke pasar guna membeli makan.
Kamu mungkin ahli dalam hal masakan dan makanan. Namun, waktu menuntutmu dan tentu saja uang.

Jika tersedia, kamu mungkin akan sibuk berkutat di dapur tetapi jika tidak, kamu akan beradu sinar matahari demi membeli nasi.
Lalu kamu lihat dipojokan pintu, terdapat banyak pakaian kotormu menumpuk. Hela napasmu pertanda lelahmu. Namun, apadaya, kamu harus tetap menghabiskannya.

Waktu bergulir, tak terasa matahari kian memancarkan panasnya. Beruntung bagi pakaianmu tapi tidak bagi tubuhmu.
Udara dari kipas rasanya tidak cukup membersihkan peluh di dahimu. Air di botol terasa kurang bagi kerongkonganmu.
Es dalam genggaman cukup mereda penat barang sekejap. Begitu pula beberapa camilan yang membantu mengisi lambung sebelum nasi kau suap.

Degup jantungmu masih membara kala terlihat beberapa panggilan tak terjawab dariku. Iya, aku tahu. Degup itu bukan karenaku tapi karena lelahmu.
Kamu ambil handphonemu, kamu buka aplikasi permainan. Disanalah terdapat kesenangan, ucapmu. Lalu kamu larut di dalamnya, cukup lama.

Cukup lama bagiku yang menunggu kabarmu. Terlalu lama bagiku yang tidak mendapat responmu. Tanpa aku sadari, egoku kembali minta dipenuhi.

Aku yang salah. Tahu akan kondisimu tapi tetap memaksa dimengerti.
Aku yang salah. Paham akan tekananmu tapi tetap meminta untuk disayangi.
Aku yang salah. Mengerti akan stresmu tapi tetap menuntut keinginanku.

Maafkan aku, sayang. Seharusnya aku disana. Membantu meringankan pekerjaanmu bahkan siap sedia membasuh peluh serta dahagamu. Bukan dengan memaksamu memenuhi egoku.

Tersenyumlah, sayang, dunia membutuhkan itu darimu, apalagi aku :)

No comments: