Wednesday, April 16, 2014

awal kerjanyata



Mereka, orang yang selama ini telah menemani hariku yang pertama kali kurasakan akan sangat membosankan. Mereka adalah orang-orang yang akan terus menemani hariku selama 40 hari. Mereka adalah orang-orang terlama yang akan berada disamping ku selain keluargaku.
Mereka adalah dian, nayuv, eja, sarah, inayah dan fajrin. Bersama mereka tak terasa sudah satu minggu waktu berlalu. Tanpa ada keluhan yang berarti. Tawa itu selalu ada meski terkadang kehampaan itu datang.
Bermula dari aku keluar dari kelompokku yang lama. Sempat aku menangis, hal sepele memang menurut pandangan orang. Hanya pindah kelompok saja sampai menangis. Drama sekali. Hal yang seharusnya tak dilakukan oleh orang yang memang ingin keluar dari kelompok tersebut.
Keluarnya aku bukan tanpa pertimbangan yang matang. Tetapi karena banyaknya pertimbangan itulah air mata ini tak berhenti mengalir. Hal pertama yang jadi pertimbangan adalah aku sudah terpatri dari awal dengan kelompok itu. Kalaupun harus ada yang keluar, seharusnya memang bukan aku.
Hal kedua yang menjadi ujung tombak tangisanku adalah ibu. Ibu sangat mengkhawatirkan keberadaanku. Setelah ku beritahu bahwasanya aku mendapat tempat yang  dekat, beliau lega. Dan setelah aku ceritakan bahwasanya ada dian dalam kelompokku, beliau sangat tenang. Mengingat keadaanku yang tak pernah dilepas lama, dengan kondisi badan yang mudah terserang penyakit tentu saja berita itu menjadi angin segar baginya.
Bagaimana bisa aku tetap di kelompok yang lama bila nafas lega ibu adalah adanya dian bersama denganku. Apa yang mau aku katakan bila ternyata aku tak satu kelompok denganku. Aku tak tahu apa yang akan dipikirkan oleh ibu bila aku tetap dikelompok yang lama.
Bahkan saat pertama kali aku menelepon beliau, yang pertama ditanya adalah “masi sama dian? Gimana keadaan disana? Dingin, nak?”
Sungguh tak dapat terbayangkan bila aku menjawab “tidak”. Mungkin ibu akan sangat intensif mengabariku bahkan menterorku dengan pertanyaan-pertanyaan sepele yang sesungguhnya beliau pun tahu jawabannya. Misalnya “gimana, nak? Dingin? Sakit ga? Kalo ada apa-apa ijin pulang aja, atau kasi tau tempatnya nanti dijemput” berbeda dengan sekarang, yang ditanya tak lebih jauh dari “sudah makan belum? Makan apa? Dian gimana?”
Selain itu, hal yang menyebabkan ku ingin keluar dari kelompok lama adalah aku tidak klop dengan kelompok tersebut. Maaf dikata, tapi apalah arti bila aku disana hanya lebih untuk dimanfaatkan tenaganya.

dunia sedang bersahabat dengan gilanya



Biarkan aku mencinta hanya sebatas punggungnya
Menikmati tiap gerak dan ucapnya
Memiliki nama dihatinya
Meski tak istimewa aku tahu itu akan bertahan lama
Biarlah… aku menyukainya
Menikmati hari bersamanya
Dalam diam ku berharap

Jatuh cinta dengan orang yang kau tahu tak akan bisa memilikinya
Dia tak mungkin mencinta, hanya aku yang dibuat gila

Bahkan merindu…
Sosok yang selama ini tak hentinya ada di ujung mata
Perlahan akan menginggalkan tempatnya
Sebentar… tapi tetap hampa
Tak ada yang kusapa dengan paginya
Maupun canda dengan lugunya
Aku merindu…
Rindu yang bahkan belum menemukan perpisahannya

seharusnya

Entahlah…. Semakin hari ia semakin berbeda
Ia semakin menarik
Segala kelakuannya kembali menarik perhatian
Tak ada pengecualian
Harusnya ku ubah haluan sebelum ia tertambat
Tapi terlambat
Sekarang semakin terpatri
Ia berdiri disana dengan angkuhnya
Menertawakan segala kenyataan
Harusnya sekarang aku jauhi
Bukan orangnya tapi hatinya
Harusnya tak selalu segalanya pakai hati
Cukup berjalan seperti biasanya
Tak perlulah mengharap hayalan semu
Tentunya pahit yang kau dapat
Sebatas pertemanan biasa
Tak lebih…
Hingga waktu itu tiba
Rasa itu semu bahkan menghilang
Semoga….

kehilangan



Ada yang hilang, teman. Gua ngerasa ada yang hilang. Bukan hanya satu titik. Tapi Satu. Penuh. Gua bohong kalo gua bilang gua seneng kalian ga disini. Gua keilangan. Meskipun gua tau keberadaan kalian, gua tetep keilangan. Gua tau temen- temen SMA, SMP bahkan SD gua.
Muslim di Bandung, Suci di Malang, Nova di Jakarta, Sandi sibuk sripsi, Mitha lagi jalan ke Surabaya, Ayi ngajar dikampungnya, dan Budi kerja di restoran fast food.
Dinda masi sibuk nyari kerja, Imelda sibuk skripsi, Tina sibuk kompre, Malvinda di Jakarta.
Agung di Cilegon, Eldo di Jakarta, Okta sibuk skripsi.
Gua tau itu semua. Dan bahkan kalo emang gua kangen kapanpun, dengan mudahnya gua bisa tinggal pencet nomor untuk telepon ataupun sekedar sms. Ga cuma sebatas itu. Mereka semua ada di daftar pertemanan gua di semua social media dan aplikasi yang gua gunakan. Tapi untuk sekian kalinya gua bilang, gua keilangan.
Gua kangen! Kangen menghabiskan waktu bareng-bareng mereka. Mereka yang dengan khasnya masing-masing mampu ngisi penuh gelas kosong yang gua punya.
Bukan hal baru untuk nova ke Lampung dan minep tempat gua. Dan yang gua rasa adalah seneng. Banget. Karena dengan itu berarti seenggaknya gua bisa kumpul lagi sama mereka. Gelas yang tadinya kosong perlahan mengisi. Ada sejumput napas baru. Dan gelas itu semakin penuh bahkan membuncah.
Yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan. Nova juga gitu, dia pasti balik lagi kerja ke Jakarta. Dan satu hal yang gua tau. Gua bakal keilangan lagi. Mereka akan mulai menyibukkan diri lagi. Termasuk gua. Untuk nutupin rasa keilangan itu.
Gitu juga sama temen SMP maupun SD. Ada separuh napas yang ilang saat mereka ga disini. Gua kangen! Banyak yang ngomong untuk masa depan, untuk kebaikan. Tapi tetep aja keegoisan gua ga akan bisa ditutupin. Gua keilangan!

Tuesday, April 1, 2014

tatapan harap

hari itu....
dia datang menguurkan tangan ingin membantu
tak ayal gugupku timbul mewakili rasa itu
rasa yang tak pernah kuharap sekalipun hayal dalam mimpi maupun diam
yang selalu bertentangan dengan kenyataan
hal yang seharusnya tidak ku publikasikan
namun rasa itu semakin bertumbuh seiring berkembangnya senyum itu
senyum tulus dari hati tanpa berharap untuk ditambatkan hati
tapi pikir ini tak lagi ingin berkomunikasi
ia berdiri sombong, gagah bahkan angkuh untuk berada tetap pada pendiriannya
aku menyukainya....
suka yang sama dengna sebelulmnya
menata rapi hati bak singgasana yang bertahtakan mahkota emas
sayangnya, singgasana itu hanya akan tetap rapi
tuan yang sekarang didambakan tak akan menduduki tahta itu
ia hanya memenuhi pikirku
tak lebih...
dan tak akan pernah lebih..
aku menikmatinya...
meski lelah, rasa itu tak akan pernah berubah
teruntukmu, yang menatapku :)

fall down

dia yang kutemui dalam hari
tak pernah terpikir akan terbungkus dengan besar
dari yang tak ada menjadi tak ingin pisah
bermula dari tatapan harap hingga ingin disana
di tempat dimana ia ada dengan senyumnya
tawanya, cemasnya, bahkan murungnya
genggaman tangannya hingga dekapannya
seperti biasanya, rasa ini tak akan ada tuannya
hanya menata hati dengan rapi
mengukir nama di singgasana hampa
bahkan merajut hayal dalam diamnya
harapku tak harap berbalas
meski usahaku melebihi batas
tetap sama, tak akan berubah
menikmati harap dalam hayal :)

pesona mematikan

pesonamu tak terbatas asa
memeluk jiwa dalam hembusan kalbu
turut menghidupi sukma tak bertahta
bahkan merasuk raga tak kenal lelah
kau mengikatnya terlalu erat
menatapnya terlalu pekat
hingga tak ayal ku terpental
bukan karena hinamu
tak juga ulah sendumu
kedatanganmu menyamarkan logika
putihku kau ubah jadi abu
merombak segala firasat
hampaku kau campur dalam gaduh
persetan!